
Lekatnya nasehat itu di benak, karena sangat menghujam di hati dan menyengat kesadaran. Status sebagai mahasiswa yang notabene jenjang pendidikan tertinggi (dengan kata MAHA-nya) semakin membuat hati dan pikiran terusik.
Saat itu, si ustadz tengah membahas pentingnya bersikap dewasa. Dan sikap ini hanya bisa diperoleh, dengan cara terus berlatih di kehidupan nyata.
Di ruang sekolah hanya bisa menyajikan materi. Sedangkan praktek nyatanya, adalah realitas atau kehidupan sehari-hari. Inilah laboratoriumnya. Sangat luas dan tidak dibatasi oleh waktu.
Nah, masuk ke ciri orang yang berperilaku dewasa, ia mampu mengetas permasalahannya seorang diri. Ia tidak lagi menjadikan orang tua, kerabat atau sebagainya, sebagai rujukan untuk mengentaskan persoalan yang ia hadapi.
Dihadapinya permasalahan itu secara kesatria dengan kebijaksanaan. Tidak emosi. Tapi dengan cerdas. Solutif. Mampu mengerai persoalan dengan benar dan tepat. Bukan justru semakin memperkeruh.
Kemampuan inilah yang akan semakin mendewasakan seseorang. Sebab, kata si ustadz itu, kedewasaan itu ukurannya adalah sikap, bukan umur.
Orang yang sudah tua, berkepribadian dewasa. Tergantung, sejauh mana kemampuannya dalam menyikapi suatu persoalan. Karena inilah bentuk ujian.
Pun sebaliknya yang lebih muda, bahkan remaja. Boleh jadi, jauh lebih dewasa sikapnya, karena kematangan jiwa atau sikap yang dimiliki.
Dan kedewasaan ini mencakup segala dimensi. Termasuk finansial. Orang dewasa, tidak akan mungkin mengandalkan bantuan orang tuanya, memenuhi hajatnya.
Sebab ini adalah karakter bayi. Bayi dalam memenuhi keperluannya, orang tua atau orang di sekitarnya menjadi andalannya. Ia akan meraung-raung, bila hajat yang dibutuhkan tidak lekas dipenuhi.
Dengan demikian, bila ada orang dewasa masih menggantungkan kebutuhan sehari-harinya, maka sesungguhnya mereka adalah bayi-bayi tua alias bayi-bayi yang berjenggot.
Red: Khairul Hibri
Editor: Admin
0 komentar :
Post a Comment