PENA JATIM - Secara status sosial, apa spesialnya menjadi imam sholat? dalam konteks ke-Indonesiaan, itu mah biasa. Tidak ada yang spesial. Di mana-mana kita bisa temukan penegakan sholat jamaah yang dipimpin oleh seorang imam. Biasakan? Gak ada yang sampai terbelalak matanya??
Lalu, kalau sang imam salah, keliru atau bahkan lupa terusan ayat yang ia lantunkan, apakah ada sesuatu yang unik? Bahasa lebaynya, sesuatu yang 'wow! ' gitu??
Harus diakui, tidak juga. Di langgar, mushalla, masjid, mulai dari perkotaan hingga pedesaan, sudah so pasti, pada suatu kali sang imam akan mengalami hal ini.
Kalau demikian, Lalu apanya yang memiliki nilai 'sesuatu'. Kembali kita temukan jawaban; "No! itu mah biasa aja, kale'". Terlebih, kita memafhumi, bahwa manusia adalah tempatnya khilaf dan lupa. Semakin termaklumlah peristiwa itu.
Namun hari ini, kita temukan ramuan nan luar biasa dari kejadian nan biasa-biasa saja, yang dialami oleh salah seorang angota PENA JATIM; Bang Samsul.
Ia merangkai pengalamannya; lupa dalam bacaan ayat al-Qur'an, ketika mengimami sholat shubuh. Diurainya latar belakang peristiwa itu terjadi. Diungkap pula penyebab utamanya. Berikut kutipan tulisan beliau.
"Ternyata di luar dugaan, Allah azza wa jalla memberikan saya pelajaran berharga, saya justru tersendat dan tak berdaya di ayat-ayat yang sudah saya anggap lancar, saya keliru tak berkutik dan tidak dapat melanjutkan, saya terdiam dengan pikiran berkelabat menghafal dari dalam hati tetapi gagal, meskipun saya sudah memasuki rakaat kedua dan sedikit lagi sampai pada ayat terakhir, namun saya tidak bisa melanjutkan, " tulisnya menerangkan.
Dari peristiwa ini, beliau kemudian mengambil ibroh penting untuk dijadikan pelajaran. Ini urain yang selanjutnya;
"Diantaranya, tidak ada baiknya menyepelekan sesuatu meskipun itu kecil dan dianggap ringan.
Tidak jarang kita terjatuh dan terpeleset di jalan yang kita anggap sudah kita hafal.
Kita menyepelekan pekerjaan karena dianggap mudah dan kecil, pada akhirnya itulah yang menyebabkan kita siang malam lembur tidak karuan karena bertumpuk yang kecil dan sepele tadi.
Bahkan sering kita dengar dan baca, tidak sedikit siswa yang tidak lulus dalam ujian karena meremehkan soal-soal yang dianggap ringan, maka mengerjakannya tidak seserius dengan soal yang dianggap sulit, maka dengan gaya seperti itu banyak yang keliru dalam menghitung. Maka Tangis dan raungan ketidak lulusan hanya sia-sia.
Terkadang pula kita menyepelekan seseorang karena kita anggap mungkin dia tidak banyak ilmu dan pengalaman. Kita menyepelekan rekan kerja karena dianggap tidak terlalu memberi kontribusi positif dan tidak memiliki kredibilitas laiknya dengan kita.
Akhirnya budaya menyepelekan muncul tanpa kita sadari. sikap menyepelekan akan berdampak memunculkan sifat keujuban, dan sifat keujuban atau kesombongan dapat memunculkan murka Allah swt.
Maka hendaknya kita memuhasabah diri dan berhati-hati dengan sifat menyepelekan ini".
****
Nah, dari rangkain tulisan yang beliau buat itulah, akhirnya kejadian biasa itu bermetamorfosa menjadi mutiara yang tak ternilai harganya. Mengapa demikian??
Pertama; karena si penulis telah melakukan proses berfikir. Ini adalah sesuatu yang sangat mahal lagi berharga. Orang-orang yang sudi meluangkan waktunya barang sejenak, untuk menggunakan akalnya memikirkan fenomena yang berseliweran di sekitarnya adalah sosok yang sangat beruntung.
Dibilang beruntung, sebab dengan demikian, ia akan menemukan pelajaran yang bisa dijadikan bekal hidup, untuk ditiru ataupun ditinggalkan. Sehingga, tidak ada kejadian yang luput darinya, kecuali kebaikan yang diperoleh.
Dengan demikian, semakin kayalah ia dengan butiran-butiran hikmah. Inilah pembelajaran yang sangat luar biasa. Belajar dari kehidupan.
Al-Qur'an sendiri menuntun kita demikian. Lihat: seperti tiga dari isi kitab suci ini adalah berisi kisah-kisah. Demikian pula hadits-hadits. Banyak juga terdapat kisah-kisah.
Uniknya, dari semua kisah-kisah itu, satupun tidak menerakan, kapan peristiwa itu terjadi. Kata Salim A Fillah, ini memberi pelajaran, bahwa ketika al-Qur’an ataupun as-Sunnah menyodorkan sebuah kisah, bukan kapannya peristiwa itu terjadi yang menjadi hal pentingnya, tapi lebih kepada unsur bagaimana peristiwa itu terjadi. Tujuannya, untuk diambil ibrah.
Jadi, inilah proses pertama yang menjadikan peristiwa nan biasa itu menjadi bernilai tinggi bagi seseorang. Bayangkan. Tanpa melalui langkah ini, maka bukan hanya kejadian biasa, hatta yang sedahsyat tragedi kudeta yang terjadi di Turki, tidak akan berati apapun. Ibaratnya, anjing menggonggong kafilah berlari.
Berlanjut ke step selanjutnya; ialah merangkaikan hasil pola pikir itu ke dalam tulisan kemudian menyebarkannya. Syukur kalau sampai tembus media massa. Untuk apa jenjang yang satu ini? Tidak lain Untuk berbagi hikmah/kebaikan antar sesama.
Dengan cara demikian, orang lain pun akan merasakan manfaat dari apa yang sudah kita peroleh/rasakan. Pada titik ini, status sebagai sebaik-baik manusia akan kita rengguh. “Khair al-naasi anfa’uhum linnas” (sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling memberikan manfaat bagi orang lain).
Mungkin kemudian timbul pertanyaan; “mengapa harus pakai tulisan, mengapa tidak menggunakan lisan saja? Kan sama-sama menyampaikan pesannya??. “
Perlu diketahui, terdapat beberapa poin keunggulan tulisan atas lisan; pertama, tulisan itu bersifat abadi, sedangkan pembicaraan tidak. Ia bisa lenyap, seiring bertambahnya waktu. Apa lagi, mengingat manusia yang memiliki sifat khilaf lagi lupa.
Kedua. Jangkauan tulisan itu menembus waktu dan ruang. Mudahnya; lihatlah karya-karya tulis ulama sekarang ini. Meski mereka telah meninggal ratusan tahun silam, namun kitab-kitab yang mereka karang, masih dibaca, dipelajari, dijadikan pedoman hidup oleh generasi-generasi setelahnya, bahkan hingga kini.
Jadi, nyatalah alasan mengapa kita kudu menuliskan pengalaman/ibroh-ibroh yang kita jumpai dari kehidupan di dunia ini, ketimbang hanya menceritakannya dengan lisan.
So, mulailah untuk mengambil pelajaran setiap momentum yang kita hadapi, ‘seremeh temeh’ apapun itu, kemudian menulis, dan menyebarkannya pada khalayak. Semua pasti ada hikmahnya.
Teks: Khairul Hibri/Ketua PENA Jatim
Foto: Andre Rahmat
Editor: Admin
0 komentar :
Post a Comment