Oleh : Khairul Hibri*
PENA JATIM - Meski tidak tahu namanya, khathib yang perawaknnya tinggi besar itu, memang menjadi favoritku. Suaranyapun khas. Agak serak-serak, tapi tetap jelas dan lantang terdengar.
Tapi bukan ini yang menjadi alasan ketertarikan. Menurut pandangan pribadi, dalam konteks desa, khathib satu ini sangat piawai dalam memilih tema khuthbah. Tidak monoton. Setali tiga uang, tidak pula temanya penuh dengan muatan-muatan normatif dengan mengedepankan al-qur'an, hadits, dan qaul ulama semata.
Yang bikin 'asyik', khathib ini mampu menarik ayat ataupun hadits yang disampaikannya, ke persoalan-perdoalan kekinian, termasuk masalah yang terjadi di masyarakat tempat tinggalnya.
Hal inilah yang kemudian menjadikan dalil-dalil yang dibacakan itu terasa berfungsi. Masih sangat relevan dengan situasi kekinian. Sehingga kesan bahwa Islam adalah agama yang sesuai atau solusi dari setiap zaman, itu terasa sekali.
Inilah sejatinya yang menjadi titik berat ketertarikanku pada khathib tersebut. Meski menggunakan bahasa Jawa Halus (kromo), khuthbah jum'at yang disampaikan tetap memikatku untuk memperhatikan dengan sungguh-sungguh apa yang disampaiakan, meski ada saja kalimat yang tak kupahami, karena aku sendiri bukan orang Jawa, dan juga belum bisa berbahasa Jawa.
Jum'at lalu itu, si khathib menyinggung masalah peristiwa qurban, yang kisah mulanya tak luput dari penggalan perjalanan hidup dua hamba mulia; Ibrahim dan Ismail.
Kata si khathib, ujian terhadap Ibrahim untuk menyembelih anaknya, adalah ujian yang maha dahsyat. Tidak sembarang orang mampu melakukannya.
Namun, lanjutnya, karena ketebalan iman Ibrahim, beliau pun bersegera menunaikan perintah Allah tersebut, meski berat dirasa. Pun demikian dengan si anak, Ismail. Dengan tegar mendukung sang bapak untuk menjalankan perintah Sang-Kholiq, hingga akhirnya, takdir Allah memutuskan untuk mengganti Ismail dengan seekor domba dari surga.
"Jadi, berkat rahmat Allah semata, yang memang Maha Pengasih kepada hamba-hamba-Nya, Allah tidak menetapkan penyembelihan anak kepada hamba-hamba-Nya yang lain, kecuali Ibrahim," ulasnya.
Mengapa demikian, imbuh si khothib yang berbusana koko lengan pendek itu, karena Allah Maha Mengetahui, bahwa manusia tidak akan mungkin mampu melakukannya. Sehingga, sambungnya lagi, sebagai pengganti, kaum mukmin 'hanya' diperintahkan untuk menyembelih hewan qurban.
"Meski sudah demikian Maha Pemurahnya Allah memberi keringanan, nyatanya manusia masih sangat berat melaksanakna titah ini. Bukan karena tidak mampu, tapi kecintaan terhadap harta yang membabi butalah, yang menjadi penghalangnya," tegas sang khathib.
Bahkan, katanya, lebih dari itu, sekedar 'memotong' 2,5 persen harta yang dimiliki per tahun untuk mengeluarkan zakatnya, banyak orang yang abai. Begitu pula untuk kerelaan 'memotong' waktu barang sebentar saja guna melaksanakn kewajiban sholat lima waktu, masih banyak manusia yang berat melaksanakan.
Ulasan-ulasan yang ada di penghujung-penghujung inilah yang kurasa memberi 'tamparan' yang sangat keras bagiku sebagai pendengar.
Disebut tamparan, karena penjelasan ini sangat menggugah kesadaran, akan betapa enggannya diri selama ini 'memotong' sedikit kesempatan, harta, rutinitas, dll, untuk menjawab seruan Allah.
Berbagai alasan pun diajukan sebagai pembenar keengganan itu. Padahal Allah Maha Mengetahui apa yang tersirat dalam hati.
Di lain sisi, kita dapati orang-orang terdahulu, khususnya Ibrahin dan Ismail, begitu gegasnya menjalankan seruang Allah, sekalipun harus nyawa yang menjadi 'mahar'nya.
Akhir kata, saya hanya ingin mengajak diri ini dan pembaca sekalian untuk mengucapkan dengan sesadar-sadarnya; "Rabbanaa zhalamnaa anfusanaa wa in lam taghfir lanaa wa tarhamnaa lakunaannaa minal khaasiriin" (Ya, Allah ya Tuhan kami, sungguh kami telah menzholimi diri kami sendiri. Sekiranya Engkau enggan memberikan ampun dan rahmat kepada kami, sudah pastilah kami termasuk hamba-hamba-Mu yang merugi).
*Khairul Hibri - ( Nama pena dari Robinsah, Ketua PENA Jawa Timur )
0 komentar :
Post a Comment