Oleh : Muh. Idris
PENA JATIM -Sepasang artis yang barusan saja meresmikan perkawinannya di catatan sipil bercerita dalam acara televise yang disiarkan langsung. Pernikahan mereka yang berbeda agama menjadi pertanyaan utama pembawa acara. Mereka berdua menjawab bahwa ini sudah takdir dari tuhan dan mereka melakukan kesemua ini mereka lakukan demi cinta.
Terhadap banyak peristiwa yang serupa di atas, Allah Swt berfirman
بَلِ الْأِنْسَانُ عَلَى نَفْسِهِ بَصِيرَةٌ وَلَوْ أَلْقَى مَعَاذِيرَهُ
“bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasannya” (QS Al Qiyamah : 14-15)
Saya, kita dan sesiapa sahaja dapat berusaha sekuat tenaga untuk membela perbuatan dan perkataan yang sesungguhnya dirinya sendiri telah mengetahui kesalahan dan kebatilannya, bahkan sangat mengetahui. Seluruh usaha dilakukan untuk menutupi aib dirinya dengan berbagai alasan, maka tidak ada yang lebih bisa menyaksikan dan mengetahui apa yang ada dalam dirinya kecuali dirinya sendiri.
Saksi atas Nash-nash Syariat
Al Qur’an terdiri dari dua kelompok ayat. Yaitu ayat yang jelas (Muhkamat) dan ayat yang samar (mutasyabihat). Begitu banyak ayat yang sudah jelas telah sampai kepada sebagian besar manusia. Namun dengan dalih ilmiah, tidak cocok dengan zaman dan bertentangan dengan kearifan lokal kemudian ditolak.
Beberapa di antara mereka mempertanyakan keaslian daripada ayat-ayat Al Qur’an yang bahkan sudah jelas bukti-buktinya di hadapan mata. Sebagian yang lain merasa ada kekurangan sehingga perlu dibangun ulang untuk dicocokkan dengan kekinian.
Ibnu Qoyyim semoga Allah Swt merahmatinya berkata, “Maha suci Allah Swt, berapa banyak kemarahan yang terjadi dalam kebanyakan diri-diri manusia disebabkan banyaknya nash-nash atau dalil-dalil, kalau saja dalil tidak pernah ada, fikir mereka.
Dan begitu banyak yang rasa panas hati disebabkan oleh nash-nash itu dan betapa banyak yang bahkan sedih dalam kerongkongan mereka disebabkan oleh yang telah menurunkan dalil-dalil tersebut”.
Dan begitu banyak yang rasa panas hati disebabkan oleh nash-nash itu dan betapa banyak yang bahkan sedih dalam kerongkongan mereka disebabkan oleh yang telah menurunkan dalil-dalil tersebut”.
Padahal seharusnya , terhadap nash-nash Syari’at menjadi saksi dan menjadi seperti yang Allah Swt gambarkan,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا} [النساء: 65]
“maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sehingga mereka menjadikan kamu sebagai hokum terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya (QS An-Nisa’ : 65)
Saksi atas Aib Sendiri
“Gajah di pelupuk mata tidak terlihat, kuman di seberang lautan bahkan terlihat”. Pepatah ini begitu banyak menimpa diri. Sibuk mengurusi aib orang lain dan melalaikan bahkan melupakan aibnya sendiri. Ibnu Qotadah menafsirkan terhadap ayat di surat Al Qiyamah 14-15 ini dengan mengatakan bahwa “apabila anda ingin, demi Allah, anda dapat melihat dan memperhatikan aib orang lain dan tidak memperhatikan dosa-dosa sendiri. Dan ini tanpa diragukan lagi adalah termasuk di antara tanda-tanda kehinaan”. Bakr bin Abdullah Al Muzani berkata “apabila kalian melihat seseorang yang mengurusi aib-aib manusia, dan melupakan aib dirinya sendiri, maka ketahuilah ia telah terkena tipu daya”. Seorang salaf berkata “kejujuran yang paling bermanfaat adalah engkau mengakui aib-aib dirimu kepada Allah Swt”
Renungkanlah contoh agung dari para utusan Allah Swt ini, kedua nenek moyang kita Adam dan Hawa, semoga Allah SWt merahmati. Mereka mengakui aib di hadapan Allah Swt dan berkata,
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ [الأعراف: 23
“keduanya berkata, Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika engkau tidak mengampuni dan memberi rahmat kepada kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi (QS Al A’raf, 23).
Perhatikan pula penyesalan Nabi Nuh As., “Nuh Berkata, Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Mu dari meminta kepada Mu sesuatu yang aku tiada mengetahuinya. Dan sekiranya engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan tidak menaruh belas kasihan kepadaku, nisaya aku termasuk orang-orang yang merugi”. (QS Hud :47)
Penyesalan Nabi Musa As. Menjadi pelajaran berharga bagi kita, “Musa Berdoa, “ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri, karena itu ampunilah aku. Maka Allah Swt mengampuninya, sesungguhnya Allah Swt Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS Al Qashash : 16).
Tuhan kami…
Kami dzalim kepada diri…
Ampuni dosa ini....
Agar kami tidak termasuk orang yang merugi..wallahu a’lam
(Tulisan ini disusun ulang dan diadaptasi dari kitab Qowaid Qur'aniyyah oleh Dr. Umar bin Abdullah Al-Muqbil. Semoga Allah Swt merahmatinya dan menjadikannya jariyah bagi beliau, nafa’anallah bi’ulumihi).
*Penulis Adalah Dosen STAIL (Sekolah Tinggi Agama Islam Luqman Al Hakim) Surabaya
0 komentar :
Post a Comment