BBM (Bahan Bakar Menulis)
Vol : 31
Keluar dari rumah makan 'Warung Kita', yang terletak di daerah Gebang, Surabaya, setelah santap malam, seketika kulemparkan pandangan ke segala arah.
Incaranku adalah tukan potong rambut. Karena itu, ketika ada tulisan-tulisan yang samar-samar terbaca oleh mata, langsung kupertajam pandangan. Untuk memastikan apakah itu tempat pangkas rambut atau bukan.
Ketika kualihkan pandangan ke sebelah timur, syukur, tak jauh dari lokasi makan, kudapati kios kecil. Luasnya berkisar 1,5 x 2 meter persegi. Di tembok terpasang sebuah panduk bertulisan; 'Potong Rambut' dilengkapi gambar guntingnya.
Bergegasku menujunya. Untung waktu itu, masih sepi. Pelanggan belum berdatangan. Setelah menyampaikan hajat, si tukang potong rambut yang menggunakan masker (penutup wajah) mempersilakanku untu ambil posisi, duduk di atas kursi.
Aku pun langsung melakukan sarannya. Ketika telah duduk, ia memasangkan beberapa kain pelindung di tubuh, agar potongan-potongan rambut tidak mengenai tubuh.
Nampak tukang potong rambut yang baru kali kusinggahi itu, termasuk sosok yang komunikatif. Ia nampak bebitu faham, bagaimana membangun kedekatan dengan pelanggan, khususnya yang baru sepertiku.
Terbukti, ketika ia tengah merapikan kain pelindung pakaian itu, serta merta ia membuka obrolan dengan menebak status pendidikanku.
"Dari pondok, ya, mas?," tanyanya.
"Iya!," jawabku singkat.
Mulanya, aku sendiri penasaran, mengapa tukang potong rambut ini bisa menebak dengan mudah identitasku. Tapi, kesimpulanku mengerucut pada logo yang tertempel di sisi kiri, baju gamis yang kupakai. Karena memang, saat itu aku mengenakan 'seragam pesantren'.
Selepas itu, obrolan mulai mengalir ke sana sini. Keakraban pun terasa semakin terjalin, ketika mengetahui bahwa ia berasal dari satu kabupaten yang sama dengan istriku.
Akhirnya semakin banyak hal yang kami bahas. Termasuk masalah pekerjaan.
Ketika masuk pembicaraan soal pekerjaan inilah, kutemukan pelajaran yang sangat berharga. Khususnya masalah optimalisasi skill.
Laki-laki yang mengaku telah berkeluarga itu, menerangkan, bahwa waktu buka kios pangkasnya hanya pada malam hari saja. Sebab, kalau siang harinya, ia bekerja di pabrik.
Entah pabrik apa. Aku pun tak ingin menyelidikinya lebih dalam. Terasa kurang elok. Baru kenal. Terasa kurang elok, mengungkap hal-hal dengan begitu detail.
Tapi bukan di posisi ininya yang menjadi inspirasiku, untuk mengangkatnya ke dalam tulisan kali ini. Namun keterangannya tetap membuka kios pangkas rambutlah yang menjadi daya tarik, meski ia telah bekerja di sebuah pabrik.
"Mengoptimalkan potensi (skil, red) aja, mas. Kan sayang kalau tidak dimanfaatkan," ungkapnya menyebutkan alasan.
Ungkapan ini benar-benar memantik kesadaranku, betapa pentingnya mengoptimalkan skill. Ya, sebab dengan optimalisasi skill inilah, perkembangan akan terjadi.
Yang mulanya biasa-biasa saja, skill-nya akan semakin lihai. Yang sudah lihai, akan bertambah profesional. Sedangkan yang sudah profesional, akan semakin membuat keprofesionalitasannya lebih baik lagi.
Begitu pula kaitannya dengan tulis menulis. Ini adalah skill/potensi yang ada pada diri kita. Besar kecilnya, jangan kita persoalkan dulu saat ini. Tapi mari, kita upayakan dalam pengoptimalannya.
Menulislah terus, agar terlatih. Jangan biarkan satu hari berlalu tanpa menulis. Menulis apa saja. Intinya adalah menulis. Yang penting bermuatan yang positif. Tak perlu yang berat-berat. Yang santaipun, tak masalah. Yang penting, skill terasah.
Jangan dibiarkan begitu saja. Lenyap nantinya skill itu. Kerugian besarlah bagi kita, yang sudah memiliki skill tulis menulis, tapi karena kelalaian (untuk tidak menyebut malas) akhirnya skill itu pun terkubur begitu saja, padahal si pemiliknya masih bernapas di muka bumi ini.
Janganlah dulu memikirkan sejauh mana profesionalitas kualitas karya yang dihasilkan, tapi evaluasilah sejauh mana pengoptimalan potensi menulis, untuk menjadi penulis profesional itu.
Yang pasti, mereka yang serius dan sungguh-sunghuh dalam mengasah skill inilah, yang kelak akan menghasilkan buah dari skill yang setiap saat mereka asah itu.
Ada pribahasa Arab mengatakan; "Man Yazro' Yahshud". “Barang siapa yang menanam, pasti ia akan menuai.”
Ingat, untuk menghasilkan panen yang unggul dari tanaman yang ditanam, tidak bisa dibiarkan begitu saja. Tapi harus dirawat, dijaga, dan dipupuk.
Tidak pula hanya sehari dua hari. Tapi setiap hari proses perawatan kebun dan tanaman kudu dijaga, hingga datangnya musim panen. Barulah bisa dinikmati hasil dari jeri payah itu, dengan hasil yang memuaskan.
Kepastian selanjutnya, yang kualami malam itu, ketika telah usai proses pangkas rambut, kemudian hendak melangkahkan kaki keluar ruangan guna kembali ke pesantren, aku kudu merogoh saku untuk mengambil selembar uang, dan diserahkan kepada si tukang cukur. Di belakangku telah mengantri beberapa pelanggan lain.
Rep: Khairul Hibri
Editor: Admin
-
Blogger Comment
-
Facebook Comment
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
0 komentar :
Post a Comment