Oleh: Mujahid elHaq*
Penegakan adab menjadi hal yang tak bisa ditawar oleh setiap penuntut ilmu. Utamanya terhadap guru, yang seorang pelajar belajar banyak hal darinya.
Ini telah memjadi 'mahar' yang tak bisa ditawar, bila si penuntut ilmu itu benar-benar mengharapkan keberkahan ilmu yang tengah dipelajarinya.
Perhatikan syair yang mengupas tentang syarat-syarat memperoleh ilmu nan berkah berikut ini :
اخي ﻻتنال العلم إلا بستة سأنبك عن مجموعها ببيان :ذكاء و حرص واصطبار و بلغة و إرشاد أستاذ و طول زمان
Artinya :"Akhi, tak kan mampu kau meraih ilmu, tanpa dengan enam perilaku. Berikut saya jelaskan semua padamu; memiliki kecerdasan, ada semangat tinggi, bisa bersabar, memiliki cukup sangu, ada piwulang (sopan, dekat) terhadap guru dan belajar sepanjang waktu."
Dalam syair milik Imam Syafii tersebut, terdapat satu syarat yang berkaitan langsung dengan penegakkan adab terhadap guru. Yaitu pada kalimat; إرشاد الأستاذ, yang memiliki arti "petunjuk ustadz. Dalam hal ini, jika kita tidak memiliki kedekatan dengan ustadz atau orang yang telah mengajarkan ilmu kepada kita, maka tidak akan mungkin ustadz tersebut dapat memberi irsyad-nya kepada kita.
Kata dekat tersebut yakni kita harus bisa menghargai guru kita, mendoakan guru kita, dan lain sebagainya. Dan tentu saja kedekatan itu dalam koridor kebaikan.
Senada dengan demikian, salah satu dari khalifah yang rasyid, Ali bin Abi Thalib, pernah berkata "أنا عبد من علمني حرفا. Maknanya "aku adalah hamba sahaya bagi orang yang telah mengajarkan aku satu huruf."
Kini kita coba dalami makna folosofis dari kata عبد. Kata ini dalam bahasa Indonesia bermakna hamba sahaya. Dalam status sosial, ia menduduki strata paling rendah. Tidak memiliki posisi strategis yang menguntungkan.
Tugasnya hanya menaati apa yang diperintahkan oleh si tuan. Tidak boleh membantah. Apa lagi sampai melawan. Perintahnya adalah titah yang harus dikerjakan. Dan larangannya adalah mandat yang harus ditunaikan.
Inilah arahan di balik nasehat menantu Rasulullah -shallallahu alayhi wasallam- di atas, tentang bagaimana seorang murid memposisikan diri kepada gurunya. Singkat kata; ia haruslah taat dan patuh terhadapnya.
Namun sayangnya, di lapangan, kita justru menemukan kebalikannya. Tidak sedikit para pelajar mengabaikan unsur satu ini. Kita ambil contoh yang ringan-ringan saja. Yaitu soal mengatakan "sudah pernah" kepada guru.
Ungkapan ini, biasanya, keluar dari lisan para peserta didik ketika mendapati sang guru/pemberi materi, menjelaskan sesuatu, yang sebelumnya pernah mereka pelajari/baca di tempat ataupun waktu yang berbeda.
Celetukan yang keluar dari lisan mereka, biasanya; "Oh, pelajaran ini aku sudah pernah mempelajarinya."
Sungguh, sebagai seorang penuntut ilmu yang mengharapkan keberkahan, perkataan seperti ini sangat tidak patut diucapkan. Sebab, boleh jadi bisa menyinggung perasaan sang pemberi materi.
Bila hal itu yang terjadi, maka potensi untuk mendapatkan keberkahan ilmu itu bisa lenyap. Apa sebab? Karena kita melalaikan satu syarat yang termaktub pada syair di atas, yaitu bagaimana kita menghormati guru, dan tidak menyakiti perasaannya barang sedikitpun.
Selain itu, perkataan macam ini, juga memberi syarat, akan adanya kesombongan dalam diri. Karena ada unsur pelecehan di sana. Melecehkan ilmu/keterangan yang telah diberikan, karena telah merasa mempelajari/mengetahui sebelumnya.
Ini adalah satu jenis penyakit hati yang harus dihindari oleh penuntut ilmu. Ilmu/kebenaran tidak akan pernah bisa menembus hati yang terjangkit penyakit ini. Di sisi lain, Allah dan Rasul-Nya sangat memurkai orang yang memiliki kesombongan dalam lubuk hatinya, walau sebesar biji dzarrah.
Kalau sudah demikian, lalu bagaimana mungkin keberkahan ilmu itu bisa didapat?? Mustahil!
Karena itu, untuk menghindari efek buruk ini, maka tidak ada pilihan bagi penuntut ilmu, selain senantiasa merendahkan diri di hadapan guru, walaupun kiranya telah mendapatkan banyak ilmu. Atau, keterangan mereka sudah banyak kita fahami.
Karena boleh jadi, ketawaduan kita inilah, yang kemudian bisa menjadi wasilah datangnya keberkahan demi keberkahan ilmu. Dan sejatinya inilah yang kita harapkan.
Semoga kita bisa menghargai para guru atau pendidik kita, agar kita mendapatkan keberkahan di dalam belajar. Aamiin.
*Penulis adalah mahasiswa UIN Suka Jogjakarta.
Mari terus saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran...
ReplyDelete