Surabaya, (PENA JATIM) - Untuk BBM (Bahan Bakar Menulis) Vol; 27 kali ini, ane akan memulai dengan menyetir kisah nyata dari seorang redaktur senior salah satu majalah Islam Nasional, ketika berjuang untuk menembus kuran harian ternama di pulau Jawa.
Sebut saja namanya Munawir. Ia mengisahkan, bahwa minat untuk menjadi wartawan telah bersemi lama dalam dirinya, wa bil khusus, ketika telah duduk di bangku kuliah.
Untuk menjaga tumbuh subur asa itu, bersama kawan sehobi, mereka membuat kelompok diskusi, yang kemudian akan menjadi acuan sebagai bahan menulis di hari selanjutnya.
Sebagai pembelajar (menulis), sudah barang tentu punya mimpi untuk bisa meloloskan karya pribadinya ke koran terbitan Nasional. Nah, usahanya inilah yang cukup unik, yang bisa kita ambil sebagai pelajaran untuk catatan kali ini.
Faham bahwa menembus kolom opini sebuah koran itu tidak mudah karena persaingannya sangat ketat, maka, melakukan pendekatan secara personal dengan redaktur opini koran yang hendak dijadikan target.
Bertepatan, kantor media itu dan rumah tempat tinggal si redaktur, berdekatan dengan tempatnya mengenyam ilmu; Surabaya.
Ia mengenang, bahwa untuk untuk melakukan pendekatan kepada si redaktur tidaklah mudah. Bukan karena si redaktur pelit waktu. Namun karena kesibukannya yang memang membludak.
Untuk itu, si Munawwir terkadang harus menunggu sampai jam 12 malam, demi bisa bersua dengan si redaktur dan menyerap ilmunya. Lelah sudah pasti. Tapi tekat untuk sukses menjadi penulis, mampu memporak-porandakan semua keletihan yang menggelayuti diri.
Singkat cerita. Karena seringnya intensitas pertemuan itu, terajutlah hubungan yang 'mesra' antar keduanya. Si Munawwir acap menyerahkan tulisannya secara langsung kepada si redaktur opini, sedangkan si redaktur dengan sabar membina, agar tulisan itu layak saji.
Akhir cerita, laksana adegan sebuah film drama, si Munawwir bisa mewujudkan cita-citanya menjadi seorang wartawan profesional. Bahkan kini ia telah menduduki posisi redaktur untuk majalah dan situs media Islam ternama di negeri ini.
Kita tinggalkan kisah si Munawwir. Kini, kita beranjak ke sebuah acara pertemuan para penulis opini sebuah kuran Nasional, yang diselenggarakan oleh media yang bersangkutan.
Kembali untuk menyingkat kisah. Pada acara itu, si redaktur opini berdiri di atas podium dan memberikan sambutannya. Nah, di sela-sela sambutan itulah, ia mengutarakan satu kisah jenaka akan terbitnya tulisan seorang penulis opini.
"Ada di antara penulis opini itu, luar bisa semangatnya. Meski ditolak berkali-kali, semangatnya pantang surut" ujarnya mulai mengisahkan.
Ketika tulisannya telah masuk ke email redaksi, lanjutnya, selalu saya balas dengan permintaan maaf, karena belum bisa diterbitkan, tersebab pertimbangan redaksi.
Karena saking seringnya dia mengirim tulisan, suatu kesempatan, email si penulis dengan jawaban yang berbeda; "Okelah, kalau begitu! ". "
"Akhirnya, tulisannya perdananya pun terbit di koran," ucap si redaktur yang disambut gemuruh tawa.
KENALKAN DIRI
Sebagai penulis, apa lagi pemula, sudah barang tentu tidak ada yang mengenali diri kita. Untuk itu, mengenalkan diri menjadi langkah penting agar tulisan kita bisa dilirik oleh para redaktur, baik itu media masa maupun penerbit.
Caranya; bisa dengan menempuh dua langkah nan berbeda di atas. Bisa dengan jalur menjalin koneksi ke pihak-pihak keredaksian, atau dengan sesering mungkin mengirim tulisan, meskipun tak kunjung dimuat-muat.
Akan 'bak pungguk merindukan bulan' lah, bila sebagai penulis yang berharap tulisannya terbit di media massa dan sebagainya, namun tidak pernah barang sekalipun mencoba membangun relasi dengan pihak-pihak media, termasuk dengan mengirim tulisan.
Ingat. Kita bukanlah siapa-siapa. Dan tidak ada yang mengenali kita. Bahasa anak mudanya; "Siapa Loe? ".
Untuk itu kita harus mengejar bola. Bangun relasi. Kalau malu untuk bertemu si redaktur, 'hujani' meja redaksi dengan tulisan-tulisan.
Sebab dengan demikian, si redaktur juga semakin akrab dengan alamat email kita, karena terus berusaha menjalin 'silaturrahim' dengannya. Semakin kuat jalinan ini terjalin, maka semakin besar juga tulisan bisa tembus. Kesampingkan; apakah karena profesonalitasan kita tulisan itu terbit, atau karena 'syafaat' si direktur.
Yang pasti, dengan diterbitkannya tulisan kita di media massa, berpeluang meluaskan lahan kebaikan yang kita sebarkan via corong tulis-menulis.
So, jangan lagi ada rasa takut untuk mengirim tulisan ke media massa. Kirim sebanyak-banyaknya.
Teks: Khairul Hibri, Ketua PENA JATIM
Redaktur: Andre Rahmat
0 komentar :
Post a Comment