www.domainesia.com

Ketika Petugas Ingin Dimengerti

Ada kejadian janggal dalam perjalanan saya kembali ke Surabaya beberapa hari lalu. Kejadian ini memaksa saya untuk memberikan “pengertian” kepada petugas yang ingin dimengerti. Definisi “ingin dimengerti” ini agak membuat saya kebingungan juga. Sebab, dia ingin saya tahu sama tahu dengan dia, untuk suatu hal yang saya belum tahu sama sekali dan baru pertama kali saya alami.

Pesawat yang akan menerbangkan saya dan keluarga ke Bandara Juanda Surabaya akan take off pukul 09.30 waktu setempat. Saya tiba di depan ruang tunggu keberangkatan satu jam lebih cepat dari jadwal boarding. Agar bisa lebih tenang menunggu di boarding room nantinya, saya lebih dahulu masuk ke konter check in dan mem-bagasi-kan barang-barang.

Pada asalnya saya ingin mengakhirkan untuk check-in. Menurut pengalaman saya, semakin cepat memasukkan barang-barang bagasi, semakin lama menunggu di pengambilan bagasi di bandara tujuan. Barang yang akhir-akhir di masukkan bagasi, itulah yang akan keluar mula-mula nantinya. Tetapi, karena keluarga yang mengantar sedang buru-buru, tak apalah saya mengalah lebih dahulu mem-bagasi-kan barang-barang. Istri dan anak-anak di luar menunggu sambil melepas rindu dengan kakek-neneknya yang ikut mengantar.

Ketika membawa barang-barang melewati security door,salah satu barang saya di tahan. Barang dengan kemasan karton itu di labeli security check oleh petugas bandara. Ada apa?
Oh, rupanya yang menjadi masalah adalah makanan yang ada di dalam karton tersebut. Dan makanan itu adalah udang kukus sebanyak 6 bungkus. Jumlah yang cukup menggiurkan mengingat harga udang yang tinggi dan mahal.

“Maaf, mas. Di dalam ada udang. Tidak boleh dibawa masuk pesawat,” ujar petugas memberi keterangan.

“Tapi, ini bukan udang mentah. Udang ini sudah dimasak sebelumnya,” saya mencoba membela diri.

Memang, ada aturan yang mengatakan bahwa makanan mentah dilarang masuk pesawat tertentu. Di daerah asal kami yang banyak petambaknya, udang dan ikan bandeng biasa menjadi menjadi oleh-oleh untuk dibawa ke tanah rantau. Berdasar pengalaman orang-orang sebelumnya, ikan dan udang mentah selalu gagal masuk bandara, apalagi masuk pesawat. Tapi, konon, sebuah maskapai penerbangan membolehkan dengan syarat dikemas dengan aman.

Dan itu memang benar. Suatu kali, mertua saya terbang membawa satu box besar berisi ikan bandeng dan udang yang masih segar dan mentah ke Balikpapan. Box dari styrofoam itu mampu menjaga makanan basah di dalamnya tetap aman. Hanya satu kelemahannya box ini; mudah pecah. Apalagi beberapa oknum petugas bagasi yang kadang seenaknya main lempar barang-barang bagasi ke dalam pesawat ketika bongkar muatan. Maka solusinya minta label “fragile”.

Selain itu, di suatu kesempatan mengunjungi adiknya di Malang, kakak ipar saya pernah membawa ikan bandeng mentah dalam kemasan box styrofoam. Ukurannya agak kecil. Tapi tidak terlalu kecil. Saya tidak tanya maskapai apa yang digunakan ketika itu. Yang jelas, tentu saja dia berhasil melewati security door bandara dengan aman. Dan membawakan kami ikan bandeng segar puluhan ekor.

Tapi, itu dulu. Sudah lewat satu-dua tahun lalu. Mungkin aturan kepala bandara yang baru? Entahlah, saya juga tidak tahu.

Maka, agar tak sakit hati karena ditolak masuk pesawat, atas saran seorang tetangga, udang-udang itu dikukus dulu pada malam sebelum berangkat. Detektor tentu bisa membedakan apakah ini udang mentah atau masak. Dan menurut pengalaman tetangga itu, berkali-kali ia terbang ke Makassar dengan trik begitu, selalu bisa dibawa tanpa ada masalah di bandara.

“Maaf, mas. Sekarang dilarang,” kata petugas lagi.

Ya, bandara ini memang gedung baru. Pertama menginjak bandara ini tiga tahun silam, bandaranya masih gedung sederhana. Sekarang, berbeda. Gedungnya bertingkat. Ada fasilitas “belalai” untuk menuju pesawat, hingga tak perlu berpanas-panas ria. Juga banyak peningkatan fasilitas-fasilitas lainnya. Mungkin seiring dengan peningkatan ini, aturannya dibuat lebih ketat juga.

“Jadi, gimana?”

“Tinggalkan di sini, biar dibawa pulang kembali. Atau tetap dibawa masuk pesawat, nanti saya bantu check in,” terangnya memberi opsi.

Jadi, boleh?” saya memastikan.

Maklum saja. Sehari sebelumnya, saya menelpon call center maskapai penerbangan yang akan saya gunakan. Pada dasarnya, membawa ikan dan udang mentah boleh saja, asal secukupnya. Kalau banyak, call center mengarahkan ke cargo. Jadi, yang melarang biasanya aturan bandara se-tempat. 

“Boleh. Saya bisa bantu. Tapi, tahu sama tahulah, mas.”

“Maksudnya?”

“Iya, mau dibantu check in tidak? Kalau mau, ya, ayo. Tapi, mengertilah ....”

Saya baru paham akhirnya. Inilah mengapa, ada yang berhasil membawa udang dan ikan mentah ke dalam bagasi pesawat, dan ada yang kecele lalu membawa pulang kembali. Bukan maskapai yang tidak membolehkan, tetapi petugas security door bandara yang menahan. Dan di sinilah “pengertian” itu diharapkan dari para penumpang. 

Ada udang di dalam rempeyek. Ungkapan ini mungkin tepat menggambarkan defini “pengertian” itu. Artinya, ya, “tahu sama tahulah”. Hehe. Pembaca harus paham juga.

Pada akhirnya, saya memang paham apa mau petugas itu. Tapi, hati kecil saya mengatakan ini tidak benar. Kalau memang ada aturan dilarang membawa barang tertentu ke dalam pesawat, sampaikan saja aturannya. Tanpa memberikan opsi lainnya. Dan kalau memang tidak ada aturan pelarangan, maka jangan mempersulit dan menahan. Apalagi sampai minta imbalan tertentu. Ini perbuatan ‘nakal’ namanya.

Agak lama saya diam. Lalu ia bertanya basa-basi memecah diam saya, sambil sesekali memperhatikan style pakaian yang saya kenakan. Ternyata, ia juga dari Malang. Ia asal Ijen, Malang Kota. Dan saya beberapa tahun ini telah tinggal di Dau, Malang Kabupaten. Tepat di perbatasan Malang Kota, Malang Kabupaten dan Kota Batu; tiga wilayah administratif yang disebut Malang Raya.

Sampai kemudian, ketika antrian mulai banyak, ia mulai melunak. Entah karena saya tinggal di tanah asalnya, atau dia tahu saya seorang guru ngaji, ia mengizinkan saya membawa masuk barang yang semula ia tahan tersebut.

“Ya, sudah. Bawa aja, mas,” katanya menunjuk ke loket check-in.

“Jadi, gak papa?” saya coba pastikan lagi apakah ia masih butuh ‘perhatian’.

“Iya, gak papa. Bawa saja. Hat-hati, ya,” ujarnya yakin dan mengembalikan barang saya.

Saya mengucap syukur dalam hati menerima barang itu. Alhamdulillah. Ia yang akhirnya mengerti saya. Bukan saya yang harus mengerti dia. Bukan bermaksud pelit tak mau memberi. Tapi, memberi tip seperti yang diharapkan petugas itu, menurut saya, adalah perbuatan risywah. Walau saya belum yakin benar dengan pendapat saya ini, tapi setidaknya saya yakin bahwa ini termasuk perbuatan yang dilarang dalam agama. Sebab, dalam hadits dikatakan bahwa hadiah untuk pegawai adalah pengkhianatan.

Sebagai muslim yang baik, sudah menjadi tugas kita untuk menjadi agen islam yang sebenarnya. Hal-hal yang dilarang dalam pesawat ini (baca: agama Islam) agar kita jauhi sejauh mungkin. Bukankah itu adalah harapan kita dalam tiap munajat seba’da shalat fardhu kita? Allahumma arinal haqqa haqqan, warzuqna ittiba’ahu, wa arinal baathila baatilan, warzuqna ijtinabahu.

*Akhirnya, alhamdulillah. Walau jauh dari tambak, saya tetap bisa menikmati udang dari kampung. Tanpa harus melakukan risywah. Lumayan untuk perbaikan gizi selama beberapa hari. Terima kasih tak terhingga kepada petugas yang sudah mengerti saya itu.

About diehanue-mars

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Post a Comment