www.domainesia.com

Pendidik Sejati... Adakah...?

Menantikan Sang pendidik Sejati
Semboyan guru: digugu lan ditiru, sepertinya sudah tidak berlaku lagi di kalangan para guru atau pendidik.  Selama ini, prestasi guru selalu  diagung-agungkan karena berasal dari kalangan terdidik dan bermoral tinggi. Tetapi dengan banyaknya pemberitaan negatif tentang perilaku oknum guru yang bejat, telah mencoreng bahkan meruntuhkan predikat keagungan guru.

Runtuhnya kharisma atau keagungan guru disebakan oleh kelakuan hina sebagian kecil atau dapat dikatakan oknum dari kalangan guru sendiri. Beberapa kejadian telah dilakukan oleh oknum dan disiarkan di layar kaca dan media cetak secara massif telah meremukkan harga diri bagi profesi pendidik dihadapan masyarakat dan juga profesi lainnya. 

Kasus pelecehan kekerasan seksual guru pada murid sering kita saksikan dilayar kaca dan media cetak belakangan ini. Beberapa bulan lalu, kasus kekerasan seksual tersebut dilakukan di sebuah sekolah internasional di Jakarta. Tidak berselang lama, giliran kota pahlawan digemparkan oleh pemberitaan media, lima wali murid dengan marah mendatangi sekolah meminta dua guru di sekolah tersebut dipecat karena telah mencabuli anak mereka.

Di Pasuruan, seorang komite sekolah dilaporkan mencabuli beberapa siswi di salah satu ruang sekolah. Dan anehnya, guru di sekolah tersebut seakan tutup mata kalau tidak dikatakan bersekongkol dengan predator tersebut. Alih-alih menindak lanjuti dan mendalami kasus, justru pihak sekolah mengancam murid-murid tersebut dikeluarkan dari sekolah karena alasan pencitraan buruk. 

Bahkan lebih miris dan memalukan, di Pasuruan pula, koran Jawa Pos merilis berita pada Jumat, 21 November 2014,  tujuh santriwati melaporkan pengasuh pondok pesantrennya karena telah dicabuli dan sebagian dari mereka disetubuhi. Mereka pun pada awalnya tidak berani melapor, karena diancam akan mendapat celaka atau kualat dari pengasuh tersebut. 

Tindakan biadab dan memalukan dari oknum kalangan terdidik tidak hanya kekerasan seksual, tetapi juga penggunaan barang haram, Narkotika dan barang zat adiktif (Napza). Kelakuan memalukan itu seolah berubah menjadi piala bergilir mampir blusukan di daerah. Kalau kejadian kekeran seksual terjadi di Indonesia bagian Barat, maka penggunaan barang haram terjadi di Indonesia bagian Timur.

 Di kota angin mammiri, Makassar, bahkan tidak tanggung-tanggung. seorang guru besar di Universitas Hasanuddin (Unhas) ditengarai mengkonsumsi barang haram “ditemani” mahasiswinya yang masih muda berada dalam satu kamar hotel. Esok harinya, koran Jawa Pos, rabu 19 november, kembali mewartakan seorang dosen Universitas Ichsan (Unisan) di Gorontalo telah dipecat karena mengkonsumsi barang haram sejenis sabu-sabu.

Selain kasus pemberitaan kekerasan seksual, penggunaan narkoba yang gencar belakangan ini dilakukan oleh guru, beberapa kejadian sebelumnya sudah cukup menyesakkan dada bagi kalangan pendidik dengan pemberitaan guru koboy. Ada oknum guru diinfokan dengan “ringan tangan” memukuli siswa-siswinya karena masalah sepele. Kasus seorang guru menendang punggung siswinya sampai pingsan pada saat upacara, kasus seorang guru menghajar siswanya karena telat masuk kelas ketika bel sudah berbunyi. Dan masih banyak lagi kasus-kasus kekerasan ( bulliying) yang kita telah lihat dan dengar..

Kasus demi kasus telah menimpa dan meruntuhkan wibawa sang pencerah negeri ini hendaknya kita renungkan, ada apa dengan diri kita sebagai pendidik? Apa yang salah dari diri kita? Sehingga kasus tersebut sebenarnya sangat tidak layak dilakukan tetapi justru terjadi.

Nasehat Imam Al Ghazali
Mari sejenak kita renungkan beberapa nasehat sang guru Imam Al Ghazali dalam buku Tazkiyatun Nafs karangan Said Hawwa kepada kita selaku pendidik.
Pertama, belas kasih terhadap murid.

Pendidik yang baik adalah pendidik yang dapat berbelas kasih terhadap muridnya. Tujuan berbelas kasih adalah semata-mata menyelamatkan muridnya dari berbagai keburukan yang dapat merugikan dirinya, tidak hanya di kehidupan sekarang ini, tetapi juga kehidupan berikutnya.

Kita mengasihi murid bukan karena orang tuanya berpangkat tinggi, milyarder, atau orang berpengaruh. Tetapi kita mengasihi karena kita sadar, bahwa ilmu apa saja yang berguna kita berikan kepadanya, maka akan kita dapatkan pula hasilnya kelak, kalau tidak di dunia ini, pastilah di akhirat.
Kedua, memfokuskan niat tanpa mencari imbalan.

Hadits Rasulullah saw dalam kumpulan hadits Arbain karangan Imam Nawawi menjelaskan, pentingnya menjaga niat. Karena niat merupakan pondasi utama dan pertama dalam segala tindakan. Tanpa niat yang suci dan lurus mustahil dapat mencetak generasi unggul.

Saat ini, tuntutan hidup kian menghimpit, harga kebutuhan pokok semakin melangit. Sementara penghargaan masyarakat tertuju pada materi bukan lagi prestasi dan keilmuan.  Kondisi tersebut menempatkan guru berada dalam zona bahaya. Kondisi yang dapat menggiring para pendidik menjadi kehilangan idealismenya. Eksistensi pendidik sebagai lokomotif perubahan sudah mulai diragukan. Paham materialisme, perlahan tapi pasti, telah membelenggu bahkan menghabisi idealisme guru yang masih tersisa. Guru seakan tidak mampu lagi menjadi  agen of change atau problem solver ditengah kondisi masyarakat yang semakin karut marut.

Sebagai pendidik yang masih merindukan perbaikan tatanan sosial, hendaknya terus menata niat agar tetap fokus mengajarkan nilai-nilai luhur, tidak merusak niat dengan mengharap imbalan atau mungkin sekedar mengejar tunjangan profesi. Mengajar atau memberikan ilmu kepada anak murid tidaklah mengejar salary semata. Sangat manusiawi, pendidik membutuhkan itu karena ada tanggung jawab menghidupi keluarga, tetapi tetap memfokuskan niat bahwa membimbing murid adalah cita-cita luhur mengantarkan mereka mendekatkan diri kepada sang pencipta.

Hendaknya kasus penghinaan, pemukulan, dan hal yang “berlebihan” ditiadakan. Kekerasan atau bulliying  kepada murid justru dapat berakibat negatif dan trauma yang berkepanjangan. Bukan berarti pendidik atau guru tidak berhak atau tidak diperbolehkan bertindak tegas kepada murid yang menyimpang, akan tetapi ketegasan tersebut masih dalam batas kewajaran.

Perlakuan kasar kepada murid telah menimbulkan pertanyaan tersendiri, apakah dengan cara yang kasar secara berlebihan oleh guru kepada siswa dianggap sebagai bagian dari nasehat yang bisa dibenarkan, karena alasan demi masa depan siswa? atau memang ajang ‘balas dendam’ kita terhadap perlakuan guru kita kepada kita pada masa lampau? Ataukah ini bagian dari skenario pembelajaran yang telah dirancang sedemikian rupa dengan harapan kekerasan tersebut akan mereka sadari dampak positifnya di kemudian hari? Tentunya ini membutuhkan penjelasan dan kajian yang lebih mendalam.
Kelima, Mengamalkan dan melaksanakan ilmunya.

Mengamalkan ilmu bagi guru adalah wajib hukumnya. Allah Ta’ala sendiri dalam Al Qur’an surat As Shof ayat 3 mencela orang yang mengatakan kebajikan kepada orang lain tetapi dirinya sendiri tidak mengerjakan. Sebuah ungkapan “lebih mudah mengatakan daripada melakukan” sering kita dengar. Tentunya, inilah tantangan terberat dan terbesar dari kita selaku pendidik.

Sering kali  kita menyuruh murid berkata baik dan bijak kepada guru dan orang tuanya, sementara kita terkadang berkata kasar pada anak, pasangan, orang tua, bahkan terhadap rekan guru kita sendiri. Sering kita menyuruh murid berpakaian rapih dan bersih diri, sementara kita sendiri memakai pakaian yang kusut tanpa setrika dan mengajar tanpa sikat gigi terlebih dahulu. Kita sering meminta siswa agar tidak membuat alasan, tetapi kita sendiri dengan beribu alasan untuk mencari pembenaran.

Akibat dari semua ini, karena kita hanya menyuruh tetapi kita sendiri tidak mengerjakan, maka bisa dipastikan bahwa apa yang diterima oleh murid hanya bersifat informasi belaka bukan sesuatu yang harus diamalkan. Mereka tahu tetapi tidak mengerjakan. Mereka sangat mengerti kalau itu membahayakan dirinya, tetapi tidak ada upaya untuk menghindari.

Apa yang telah dilakukan oleh oknum guru atau oknum kalangan terdidik tersebut hendaknya membuka mata, pikiran dan menjadi pelajaran penting bagi kita selaku pendidik sejati. Sebagai guru sejati, kita tanamkan dalam diri, berazzam memutus mata rantai kebusukan, melatih diri menjadi agent of change, problem solver dan menjadi oase penyejuk di tengah-tengah kegersangan moralitas masyarakat. Wallahu a’lam bisshowab.
***Syams***

About diehanue-mars

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Post a Comment